Kamis, 30 Juni 2011

SISTEM PEMBESARAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KERAMBA JARING APUNG TELUK PEGAMETAN DUSUN SUMBERKIMA - BALI

SISTEM PEMBESARAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KERAMBA JARING APUNG TELUK PEGAMETAN DUSUN SUMBERKIMA - BALI

Oleh:
HENDRAWAN

06.101020.004

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKUKLTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN

TARAKAN

2010

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.wb

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan Praktek Kerja Lapang (PKL) “Sistem pembesaran Sumberdaya Perikanan di Keramba Jaring Apung Teluk Pegametan Dusun Sumberkima (BALI)”.

Penulisan laporan Praktek Kerja Lapang ini persyaratan untuk dapat menempuh ujian Praktek Kerja Lapang di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan. Penulis dapat menyelesaikan rangkaian kerja lapangan ini berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Heppi Iromo, S.Pi., M.Si selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

2. Bapak Dhimas Wiharyanto S,Pi., M.Si selaku Ketua Jurusan Manajemen Sumberdaya perairan.

3. Bapak Muhammad Firdaus, S.Pi., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis sehingga laporan ini dapat terselesaikan.

4. Para dosen dan staf di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UB Tarakan yang telah banyak memberikan arahan dan dukungan.

5. Kepala Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol-Bali yang telah memberikan izin dan fasilitas untuk pelaksanaan Praktek Kerja Lapang.

6. Ibu Olga Pattinasarany, SH. yang telah memberikan dukungn penuh dalam melengkapi informasi tentang Balai kepada penulis beserta teman-teman.

7. Bapak Dr. Adi Hanafi, S.Pi., M.Sc., selaku Pembimbing Lapangan yang telah membimbing penulis selama masa praktek kerja lapang

8. Ir. Magdalena latuhamallo, M.Sc, Reagen Septory, S.pi, Leny Kurniawati, S.si, Husen Husaenih beserta seluruh staf (BBRPBL) Gondol-Bali yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama kegiatan PKL berlangsung.

9. Kedua orangtuaku, kakak-kakak dan adik-adikku atas pengorbanannya yang selalu sabar memberikan bantuan dan dorongan serta iringan doa hingga terselesaikannya laporan ini.

10. Teman-teman FPIK UB Tarakan angkatan 2006 dan 2007, untuk semua kebersamaan dan bantuan yang telah kalian berikan hingga laporan ini selesai.

Karena keterbatasan dan masih kurangnya pengetahuan serta pengalaman yang dimiliki penulis, maka dengan sangat senang hati dan lapang dada mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi untuk kesempurnaan dalam penyusunan selanjutnya.

Akhir kata semoga Allah SWT memberikan pahala atas segala bantuan dan pengorbanan yang telah diberikan semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Besar harapan penulis laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca. Amin Yarabbal Alamin…..

Tarakan, Januari 2010

Penulis

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia adalah Negara kepulauan yang terletak diantara Samudera Hindia dan Pasifik. Negara ini mempunyai 17.504 pulau-pulau dengan luas sekitar 5,8 juta kilometer persegi. Panjang garis pantai Indonesia adalah sekitar 81.000 kilometer. Sekitar dua pertiga wilayah Indonesia terdiri dari perairan laut. Perairan yang luas ini menjadikan Indonesia memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Lebih dari 10.000 spesies fauna dan flora tropis hidup diperairan ini (Dirjen budidaya, 2006).

Komoditas unggulan budidaya laut yang layak untuk dikembangkan antara lain adalah ikan kerapu, ikan kakap putih, tiram mutiara, kerang darah, abalon, rumput laut, ikan hias, kerang hijau, teripang, tiram dan lobster. Menurut Nurjana, et al (1998), luas perairan Indonesia yang potensial untuk budidaya laut adalah 312.773 km2, yang terdiri dari perairan untuk budidaya ikan kakap putih seluas 213.428 km2, ikan kerapu 40.913km2, kerang darah dan tiram 37.878 km2, teripang 5.159 km2, tiram mutiara dan abalon 4,286 km2, serta rumput laut 11.109 km2.

Upaya dalam kegiatan budidaya laut dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu usaha pembenihan dan usaha pembesaran. Demikian pula, teknologi budidaya juga dikelompokkan menjadi teknologi pembenihan dan teknologi pembesaran. Teknologi pembenihan dan pembesaran untuk beberapa komoditas budidaya laut telah ditemukan, baik dalam skala laboratorium maupun skala komersil. Dalam pemilihan teknologi / metode budidaya, selain memperhatikan kondisi perairan, juga perlu diperhitungkan persediaan material yang akan digunakan dalam pembuatan kontruksi, seperti jaring, bambu, kayu, tali, dan lain-lain. Dalam pembudidayaan kerapu khususnya terdapat dua metode yang dapat dilakukan, yaitu Keramba jaring apung (KJA) dan metode Keramba tancap (KT).

Pemilihan teknologi untuk usaha pembesaran budidaya ikan laut umumnya dengan menggunakan teknik keramba jaring apung (KJA). Dimana metode ini dinilai lebih efisien dari segi biaya daripada teknik tambak di kawasan teluk atau perairan tertutup yang sifatnya permanen dan rentan terhadap konflik kepemilikan lahan atau tanah. Selain itu keramba jaring apung termasuk alat produksi yang fleksibel, karena bila tidak berproduksi keramba dapat didaratkan untuk menjaga keamanan dan pemeliharaannya serta waktu panen dapat diatur dan ukurannya lebih seragam.

Pemanfaatan lahan yang berpotensi untuk usaha budidaya ikan kerapu dengan teknik keramba jaring apung masih relatif kecil yaitu 10,42 hektar, selain itu, jumlah produksinya juga masih rendah, disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan penguasaan teknologi oleh petani, kendala untuk mendapatkan pasokan benih kerapu, serta adanya pengaruh lingkungan dari kegiatan penambangan pasir darat akibat tata ruang pengelolaan kawasan yang masih belum teratur (Yuniati,2008).

Mengingat potensi kawasan untuk usaha budidaya yang relatif luas, nilai ekonomis dari beberapa komoditas laut seperti ikan, rumput laut, dan beberapa jenis kerang-kerangan yang tinggi, dan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengembangan usaha budidaya dengan teknik keramba jaring apung (KJA), maka kebijakan pemerintah di sektor pembangunan perikanan perlu ditingkatkan agar lebih terarah. Upaya pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dan komoditas perikanan yang lain dengan teknik keramba jaring apung (KJA) dipengaruhi oleh berbagai aspek meliputi aspek sumberdaya manusia, permodalan, sumberdaya alam, teknologi, informasi, lingkungan industri, pemasaran, kelembagaan serta aspek kebijakan maupun peraturan yang mendukung (Yuniati,2008).

Perairan Sumberkima apabila pada saat surut terbagi menjadi dua teluk yaitu Teluk Pegametan dan Teluk Kaping. Kedua kawasan ini merupakan contoh pengembangan budidaya perairan laut yang berada di kecamatan Gerograk, Kabupaten Buleleng-Bali. Tidak mengherankan apabila terdapat banyak KJA milik instansi pemerintah, perusahaan swasta serta milik pribadi yang berada di kawasan ini. Beberapa jenis ikan laut yang dibenihkan adalah kerapu antara lain : kerapu macan (Epinehelus fuscoguttatus) kerapu lumpur (Epinehelus suilus), kerapu sunu (Plectropomus leoprdus) dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis), Tiram Mutiara (Pinctada maxima) dan Abalon (Haliotis squamata). Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran mengenai tehnik pembesaran komoditas apa saja yang ada, maka Praktek kerja Lapangan dilakukan di Keramba jaring apung.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktek kerja lapangan yang dilakukan di keramba jaring apung (KJA) adalah:

1. Untuk mengetahui sistem pembesaran sumberdaya perikanan yang ada pada keramba jaring apung (KJA)

2. Untuk mengetahui tehnik pembesaran komoditas perikanan yang ada.

3. Mendapatkan pengalaman kerja dan keterampilan praktis mengenai pembesaran ikan kerapu, tiram mutiara dan Abalon.

C. Manfaat

Memberikan informasi tentang sistem pembesaran sumberdaya perikanan yang ada, tehnik pembesaran yang dipergunakan, serta menambah pengetahuan dan pengalaman secara langsung kepada mahasiswa mengenai pembesaran ikan kerapu macan, tiram mutira, dan abalon di keramba jaring apung.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Keramba Jaring Apung

Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan tempat pemeliharaan ikan yang memungkinkan air dapat keluar masuk dengan mudah melalui sisi dan dasar keramba menuju perairan sekitarnya. Pertukaran air ini akan memasok air yang segar dengan kadar oksigen yang tinggi bagi ikan di dalam keramba dan mengganti air yang telah mengandung sisa pakan yang tidak termakan dan sisa metabolisme tubuh (feces). Sistem pertukaran yang baik pada KJA menyebabkan pertumbuhan ikan akan lebih baik.

Metode KJA sebagai teknik akuakultur memiliki beberapa keuntungan diantaranya tingginya padat penyebaran, jumlah dan mutu air selalu memadai, tidak diperlukan pengolahan tanah, lebih mudah melakukan pengendalian terhadap gangguan predator (pemangsa), dan juga pemanenan.

B. Pemilihan Lokasi

Langkah awal dari sebuah keberhasilan budidaya laut di KJA adalah pemilihan lokasi. Pemilihan lokasi yang kurang baik dapat menimbulkan kegagalan. Aspek teknis yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi di antaranya aspek kelayakan lahan budidaya.

Ketepatan pemilihan lokasi adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha budidaya ikan laut. Karena laut yang dimanfaatkan sebagai lahan budidaya merupakan wilayah yang penggunaannya melibatkan sektor lain (Common property) seperti; perhubungan, pariwisata, dan lain-lain. Maka, perhatian terhadap persyaratan lokasi tidak hanya terbatas pada faktor-faktor yang berkaitan dengan kelayakan teknis budidaya melainkan juga faktor kebijaksanaan pemanfaatannya dalam kaitan dengan kepentingan lintas sektor.

C. Kualitas Air

Lokasi untuk penempatan Keramba Jaring Apung harus memiliki kualitas air yang baik. Adapun parameter kualitas air yang harus diperhatikan adalah:

1. Oksigen

Oksigen yang terlarut merupakan kebutuhan utama dan faktor pembatas bagi ikan. Apabila jumlah ketersediaannya kurang mencukupi maka pertumbuhan ikan dapat terhambat. Menurut Zonneveld dkk.(1991) kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai kepentingan dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumsif yang tergantung pada metabolisme ikan. Perbedaan kebutuhan oksigen dalam suatu lingkungan bagi ikan dari spesies tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan, yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan. Menurut Deswati (2002) lokasi harus memiliki oksigen terlarut >5 ppm. Pada saat praktek kerja lapang Teluk Pegametan memiliki oksigen terlarut berkisar antara 3,54-5,28 ppm.

2. Derajat Keasaman (pH) Air

Menurut Kordi (2004) pH air mempengaruhi kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah akan membunuh ikan. Pada pH rendah (keasaman yang tinggi) kandungan oksigen terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen akan menurun, aktifitas pernapasan akan naik dan selera makan berkurang. Hal ini yang sebaliknya terjadi pada saat basa. Berdasarkan ini, maka usaha budidaya ikan laut baik dalam air dengan pH 6,0-9,0 dan pertumbuhan optimal ikan terjadi pada pH 7-8 (tabel ). Perairan teluk Pegametan memiliki pH berkisar 7-8.

Tabel . Baku mutu perairan untuk biota laut

pH Air

Pengaruh terhadap ikan

<4,5

Air bersifat racun bagi ikan

5-6,5

Pertumbuhan ikan terhambat dan ikan sangat sensitif terhadap bakteri dan parasit

6,5-9,0

Ikan mengalami pertumbuhan optimal

>9,0

Pertumbuhan ikan terhambat

(sumber : BBRPBL Gondol)

3. Suhu

Aktivitas metabolisme ikan di pengaruhi oleh suhu, karena penyebaranya pun dibatasi oleh suhu. Suhu sangat berpengaruh terhadap kegiatan dan pertumbuhan ikan. Suhu juga dapat menyebabkan kematian bila peningkatan suhu air sangat drastis. Sifat ikan yang poikilotermis (suhu tubuh ikan dipengaruhi oleh air disekitarnya) mengakibatkan rendahnya tingkat metabolisme setelah air mengalami penurunan suhu.

Distribusi suhu secara vertikal perlu ketahui karena mempengaruhi distribusi mineral dalam air karena kemungkinan terjadi pembalikan lapisan air. Suhu air akan mempengaruhi juga ketentuan (viskositas) air. Perubahan suhu air yang drastis dapat mematikan ikan karena terjadi perubahan daya angkut darah. Seperti diketahui daya angkut darah akan lebih rendah pada suhu tinggi.

Suhu sangat berpengaruh juga terhadap nafsu makan ikan. Di Indonesia perairan lautnya memiliki suhu yang konstant setiap tahunnya yaitu 27°-30°C.

4. Salinitas

Salinitas adalah konsentrasi rata-rata seluruh larutan garam yang terdapat di dalam air laut. Konsentrasi garam-garam jumlahnya relatif sama dalam setiap contoh air, sekalipun pengambilanya dilakukan di tempat yang berbeda. Menurut Sunyoto (1994) mengatakan pada umumnya kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Menyukai air laut berkadar garam 33-37 ppt.

5. Arus Air

Arus air sangat membantu proses penukaran air di dalam keramba. Arus air juga membantu membersihkan sisa-sisa makanan dan sisa-sisa metabolisme ikan. Selain itu arus air juga dapat membawa oksigen terlarut yang sangat diperlukan oleh ikan. Meskipun demikian, arus air dapat menyebabkan ikan yang terdapat di dalam keramba menjadi stress dan juga bisa merubah posisi KJA apabila arus air berlebihan. Sedangkan apabila arus air terlalu rendah juga maka akan cepat terjadi penempelan organisme pada jaring. Kecepatan arus ideal adalah 20-50 cm/detik. Pada saat praktek kerja lapang kecepatan arus air di perairan Teluk Pegametan berkisar antara 9-25 cm/detik.

6. Kedalaman Air

Kedalaman perairan minimal yang baik untuk penempatan Keramba Jaring Apung (KJA) adalah 1 m, yaitu jarak dari keramba dengan dasar perairan, atau antara 7-15 m jarak dari permukaan air sampai ke dasar perairan. Apabila terlalu dangkal, lumpur dan kotoran air akan dengan mudah terakumulasi oleh ombak. Dasar perairan sebaiknya berupa pasir, pasir berlumpur, atau pasir berbatu, sehingga memudahkan dalam pemasangan jangkar bagi Keramba Jaring Apung (KJA).

7. Gelombang

Keramba Jaring Apung (KJA) sebaiknya terhindar dari gelombang dan angin yang keras. Ombak yang terus-menerus dapat membuat air menjadi beriak dan menyebabkan stress pada ikan, sehingga ikan tidak dapat diam didasar jaring dan energi terbuang habis. Hal ini dikarenakan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mempunyai kebiasaan tinggal di dasar jaring kecuali pada saat waktu makan. Badai dan gelombang besar akan mempercepat kerusakan pada bagian konstruksi KJA. Untuk itu lokasi KJA biasanya dipilih dekat dengan pulau-pulau agar mengurangi kekuatan dari gelombang tersebut.

8. Predator

Predator atau pemangsa utama ikan yang ada di dalam Keramba Jaring Apung (KJA) adalah hewan buas laut dan burung-burung laut pemakan ikan. Untuk menghindari ikan dari serangan burung-burung laut cukup mudah, dengan menambahkan pelindung atau jaring penutup ataupun dengan memakai shellter. Namun, untuk menghindari serangan hewan buas laut masih cukup sulit. Hewan laut yang biasa menggangu KJA adalah ikan buntal, hiu serta hewan ganas lainya. Hewan-hewan tersebut dapat menggangu ketenangan ikan bahkan hingga hilang sama sekali.

9. Lalu Lintas Laut

Posisi Keramba Jaring Apung (KJA) lebih baik jauh dari jalur transportasi laut, dimana perahu atau kapal sering melintasi jalur tersebut. Selain itu disebabkan juga karena kapal-kapal mengeluarkan sisa-sisa pembakaran sehingga menyebabkan lingkungan menjadi tercemar. Oleh karena itu, biasanya lokasi untuk budidaya ditempatkan di daerah teluk, selat diantara pulau-pulau yang berdekatan, atau di perairan terbuka dengan terumbu karang penghalang (barrier reff) yang cukup panjang.

10. Pencemaran

Lingkungan Perairan sering kali tercemar oleh limbah, baik limbah rumah tangga, limbah pertanian, maupun limbah industri. Limbah rumah tangga biasanya berupa detergen dari air cucian dan sampah. Adapun limbah industri berupa bahan-bahan kimia.

11. Kelestarian lingkungan

Kegiatan yang dilakukan di Keramba Jaring Apung (KJA) harus memperhatikan akibat terhadap lingkungan sekitar atau ekosistem perairan. Yang perlu diperhatikan adalah keadaan terumbu karang (coral reff), karena jangkar sangat potensial merusak terumbu karang.

III. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Praktek kerja lapang berlangsung selama 30 hari terhitung sejak tanggal 10 Nopember 2009 sampai dengan 10 Desember 2009 Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL), Gondol-Bali. Pelaksanaan meliputi kegiatan di Keramba Jaring Apung 5 hari sekali dan selanjutnya di Bak pembesaran abalone.

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol-Bali terletak di Jl. Br.Gondol, Kec. Grokgak, Kab. Buleleng, Po Box 140 Singaraja 8115-Bali Telp. 0362.92278 Fax 036292272. Lokasi Balai terletak dari penyebrangan Gilimanuk dapat ditempuh selama ± 1 jam menggunakan angkutan umum. Sedangkan lokasi budidaya kerapu macan, tiram mutiara, dan Abalone. Yaitu di Keramba Jaring Apung milik Pak Nardi di Teluk Pegametan.

B. Metode Praktek

Kegiatan Kerja Lapangan meliputi pengumpulan data primer dan data skunder yang pelaksanaannya melalui 4 (empat) pendekatan.

a). Observasi lapangan

Kegiatan ini melalui observasi atau pengamatan secara langsung terhadap kegiatan di Balai dan di Keramba Jaring Apung. (KJA)

b). Partispasi secara aktif

Kegiatan ini dilakukan dengan ikut berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan teknik pembesaran di keramba jaring apung.

c). Wawancara

Kegiatan ini dilakukan dengan melakukan wawancara atau komunikasi secara lansung terhadap pihak-pihak yang terkait secara langsung yaitu para peneliti, teknisi dan penjaga dalam kegiatan teknik pembesaran di Keramba Jaring Apung.

d). Studi Pustaka

Kegiatan ini dilakukan dengan mempelajari berbagai pustaka yang terkait dengan teknik pembesaran kerapu macan, tiram mutiara dan abalon pada umumnya.

IV. KEADAAN UMUM

4.1 Letak

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol terletak di Dusun Gondol, Desa Penyabangan, Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng, propinsi Bali. BBRPBL Gondol terletak 30 km dari pelabuhan penyebrangan Gilimanuk dan 50 km sebelah barat kota Singaraja (Kabupaten Buleleng). Batas – batas BBRPBL Gondol sebagai berikut :

Ø Sebelah utara : laut Bali

Ø Sebelah selatan : jalan raya

Ø Sebelah barat : laut Bali

Ø Sebelah Timur : laut Bali

Letak BBRPBL Gondol yang dekat dengan laut Bali mempermudah untuk mendapatkan pasokan air laut yang akan digunakan untuk kegiatan budidaya. Sedangkan posisi balai ini yang dekat dengan jalan raya mempermudah untuk menuju balai ini.

BBRPBL Gondol terletak pada 1140 – 1150 BT dan 70 - 80 LS, dengan ketinggian 2 m dpl (di atas permukaan laut). Topografi tanah dasar berpasir, suhu udara berkisar antara 280 - 340 C, salinitas air laut berkisar antara 30 – 35 ppt dan salinitas air tawar 0 ppt.

BBRPBL Gondol didirikan di atas areal seluas 6,7 ha. Dari luas areal ini, yang digunakan adalah 11.910 m2, sedangkan sisanya merupakan tanah kosong. Selain lokasi pembenihan di daerah Gondol, BBRPBL Gondol juga memiliki lahan yang digunakan sebagai tambak di Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng dengan luas lahan 50 ha, dan di Desa Perancak, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana dengan luas lahan 21,21 ha. Sedangkan untuk kesejahteraaan karyawan BBRPBL Gondol terdapat dua areal tanah yang digunakan untuk perumahan pegawai yang terletak di Desa Perancak seluas 1,24 ha dan Desa Sanggalangit seluas 2 ha.

Letak bangunan di BBRPBL Gondol diatur menurut keterkaitan fungsional, artinya bangunan-bangunan yang berkaitan dengan usaha pembenihan seperti tempat pemeliharaan induk, tempat pemeliharaan larva dan tempat kultur pakan alami dibangun secara berdekatan. Hal ini bertujuan agar proses pembenihan dapat berjalan dengan lancar.

4.2 Struktur organisasi

BBRPBL Gondol dipimpin oleh seorang kepala balai yang dibantu oleh bagian proyek, kepala urusan tata usaha, bidang pelayanan teknis, bidang program dan kerjasama, serta kelompok jabatan fungsional. Adapun tugas dan tanggung jawab dari pegawai disesuaikan dengan jabatannya masing – masing yaitu :

4.2.1 Kepala Balai

Kepala Balai bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan tugas masing – masing bawahan dan apabila terjadi penyimpangan agar mengambil langkah – langkah yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahan masing – masing dan memberikan bimbingan serta petunjuk pelaksanaan tugas kepada bawahannya.

4.2.2 Sub Tata Usaha

Sub tata usaha bertugas melakukan urusan keuangan, kepegawaian, persuratan, perlengkapan dan rumah tangga. Selain itu juga bertanggunng jawab dalam pelaporan setiap bidang yang diurusnya.

4.2.3 Sub Seksi Standarisasi dan Informasi

Seksi ini mempunyai tugas melakukan penyimpanan bahan standar teknik dan pengawasan pembenihan dan pembudidayaan ikan laut, pengendalian hama dan penyakit ikan, lingkungan, sumber daya induk dan benih, serta pengelolaan jaringan informasi dan perpustakaan.

4.24 Seksi Pelayanan Teknis

Seksi pelayanan teknis mempunyai tugas melakukan pelayanan teknis kegiatan pengembangan, penerapan serta pengawasan teknik pembenihan dan pembudidayaan ikan laut.

4.2.5 Kelompok Jabatan Fungsional

Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melaksanakan kegiatan perekayasaan, pengujian dan bimbingan penerapan standarisasi atau sertifikasi pembenihan dan pembudiidayaan ikan laut, pengendaliaan hama dan penyakit ikan, pengawasan benih dan budidaya, penyuluhan serta kegiatan lain sesuai dengan tugas masing – masing berdasarkan jabatan fungsional berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

BBRPBL Gondol menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan singkronisasi baik di lingkungan departemen serta dengan instansi lain di luar departemenn sesuai dengan tugas masing – masing.

Struktur organisasi BBRPBL Gondol berdasarkkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 73 tahun 2000, dimana Balai Penelitian ini memiliki mandat untuk melaksanakan kegiatan penelitian teknologi pembenihan perikanan pantai dapat dilihat pada Gambar 3.


Gambar 3. Struktur Organisasi BBRPBL Gondol Bali

4.3 Sistem Penyediaan Air

4.3.1 Penyediaan Air Laut

Air merupakan kebutuhan yang paling utama dalam seluruh kegiatan budidaya air tawar maupun laut. Dalam hal ini air laut yang digunakan di BBRPBL Gondol berasal dari laut bali. Air laut yang digunakan diambil dengan system bejana dengan air laut yang kemudian di tampung ke dalam dua buah sumur yang masing – masing berdiameter 3 m dengan kedalaman 7 m. air yang berada di dalam sumur tersebut dialirkan dengan menggunakan 6 buah pompa yang disimpan di rumah pompa dengan kekuatan masing – masing 20 pk dan berkapasitas 36 m3/jam yang digunakan selama 24 jam secara bergantian dimana penggunaan setiap harinya 3 buah pompa yang diganti seetelah 24 jam penggunaan. Pompa dihubungkan dengan menggunakan pipa paralon berdiameter ± 6,5 cm denngan panjang 100 m dari batas surut air laut terendah.

4.3.2 Penyediaan Air Tawar

Air tawar yang digunakan baik untuk kepentingan didalam kegiatan pembenihan larva maupun untuk keperluaan lainnya berrasal dari perusahaan air minum (PAM) Kabupaten Buleleng Bali. Air tawar tersebut ditampung dalam tangki yang berkapasitas 20 m3 dengan ketinggian 10 m kemudian dialirkan ketempat – tempat yang membutuhkan.

4.4 Sistem Aerasi

Aerasi dibutuhkan untuk menambah difusi oksigen terlarut dalam air serta mempercepat penguapan gas – gas beracun yang terdapat di dalam air. Aerasi yang diigunakan pada gedung MSH (Multy Species Hatchery) sebanyak 2 buah blower, yang masing – masing berkapasitas 2,21 m3/menit, KVA. Kecepatan bekerja secara bergantian setiap 24 jam, uudara dialirkan melalui pipa paaralon yang berdiameter 2,5 inchi dan dialirkan ke unit - unit pembenihan yang dilengkapi dengan selang aerasi.

4.5 Fasilitas Pendukung

4.5.1 Energi Listrik

Energi listrik merupakan kebutuhan pokok dalam suatu usaha pembenihan. Penggunaan listrik tidak hanya diperlukan untuk penerangan saja tetapi untuk mengoperasikan pompa air, blower, dan peralatan lainnya yang juga membutuhkan listrik.

BBRPBL Gondol menggunkan listrik yang berasal dari perusahaan listrik Negara (PLN) sebagai sumber utama dan berasal dari tiga buah sumber energi listrik dengan kapasitas 197 kw, generator 100 kw dan generator 200 kw sebagai sumber listrik cadangan.

4.5.2 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh BBRPBL Gondol dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Sarana Produksi BBRPBL Gondol – Bali

No

Sarana

Jumlah (unit)

1

Pompa Air Laut

6

2

Sumur Bor

4

3

Blower

4

4

Pipa Pemasukan Air Laut

1

5

Saluran Pengeluaran

1

6

Pipa Aerasi

1

7

Hatchery Udang

4

8

Hatchery Bandeng

1

9

Hatchery teripang

2

10

Hatchery Kepiting Bakau

1

11

Hatchery Rajungan

1

12

Hatchery Kerapu Macan

1

13

Hatchery Kerapu Bebek

1

14

Hatchery Kerapu Lumpur

1

15

Hatchery Kerapu Sunu

1

16

Hatchery Napoleon

1

17

Hatchery Tuna (OFCF)

1

18

Multy Species Hatchery (MSH)

1

19

Keramba Jaring Apung (KJA)

1

Sumber : BBRPBL Gondol (2008)

Tabel 3. Prasarana Produksi BBRPBL Gondol

Prasarana

Jumlah (Unit)

Bangunan :

Administrasi

1

Lab. Penyakit Lingkungan dan Gizi

1

Lab. Kimia dan Analisa

1

Lab. Produksi dan Makanan Campuran

1

Lab.Biologi

1

Lab. Bioteknologi

1

Tempat Kultur Pakan Alami

Beberapa

Sumber Energi Listrik :

Generator 100 KW

3

Generator 200 KW

1

PLN 197 KW

3 unit instalasi

Komunikasi :

1. Telepon

3

2. Faksimail

1

Transfortasi :

Kendaraan Roda 4

11

Kendaraan Roda 2

4

Truk

1

Speed Boat

2

Fasilitas Lain :

Asrama

1

Guest House

2

Perpustakaan

1

Rumah Jaga

1

Lapangan Tenis

1

Lapangan Volly

1

Lapangan Bulu Tangkis

1

Koperasi

1

Musholla

1

Sumber : BBRPBL Gondol (2008)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran umum Keramba Jaring Apung Teluk Pegametan

Kegiatan pembesaran Abalon dilakukan di keramba jaring apung yang berada di Teluk Pengametan, Dusun Sumberkima, Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Keramba jaring apung ini terdiri dari 92 petak namun yang digunakan baru 58 buah. Lokasi keramba jaring apung di mana kegiatan pembesaran Kerapu, Tiram Mutiara dandilakukan di perairan pantai Dusun Sumberkima dengan jarak 100 meter dari bibir pantai. Lokasi keramba jaring apung berada di area Teluk Pengametan yang relatif terlindung dari ombak dan gelombang besar serta memiliki kedalaman 17-18 meter, sehingga sangat baik untuk lokasi keramba jaring apung. Kegiatan budidaya yang dilakukan antara lain pembesaran Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus), pembesaran Abalon (Haliotis squamata) dan pembesaran Tiram Mutiara (Pinctada maxima). Konstruksi keramba jaring apung terdiri dari kerangka, pelampung, pengikat, kurungan atau jaring, jangkar dan pemberat. Kerangka atau rakit berfungsi untuk menempatkan kurungan atau jaring pembesaran (Kerapu Macan,) serta menambatkan tali dimana kotak pembesaran (Abalon dan Tiram Mutiara) diletakkan. Kerangka jaring apung terbuat dari kayu, papan serta bambu. Pelampung berfungsi untuk mengapungkan keseluruhan sarana budidaya. Pelampung yang digunakan berupa drum yang terbuat dari bahan sintesis dengan kapasitas 200 liter. Dalam satu petak keramba diperlukan 4 buah pelampung. Sedangkan untuk mengikat pelampung dengan kerangka serta untuk kegiatan budidaya lainnya digunakan tali plastik yang berdiameter 0,8-1 cm.

Adapun jaring yang digunakan untuk untuk membuat keramba jaring apung khususnya pada pembesaran kerapu macan terbuat dari bahan polyethylene (PE) dengan ukuran keramba 2,5x2,5x2,5 m dan ukuran mata jaring 1,5 cm. dan untuk pembesaran abalon jaring yang digunakan terbuat dari plastik kaku yang dibentuk menyerupai kotak lengkap dengan penutupnya, dengan ukuran 25x25x25 cm. pergantian jaring pembesaran kerapu dilakukan setiap 6 hari sekali sedangkan pembersihan keranjang pembesaran abalon dan poket mutiara dilakukan setiap 5 hari sekali.

Jangkar berfungsi untuk menahan keseluruhan sarana budidaya agar tetap pada tempatnya. Jangkar yang dipergunakan harus mampu menahan keramba dari pengaruh arus, angin dan gelombang. Tali jangkar yang digunakan adalah tali polyethylen dengan diameter 1 inchi, dengan panjang tali jangkar 50 m. Sedangkan pemberat berfungsi sebagai penahan arus dan menjaga jaring agar tetap simetris. Pemberat yang digunakan terbuat dari beton dengan berat 1 kg dan ditempatkan di setiap sudut petak jaring apung.

Gambar 1. Keramba Jaring Apung (Hendrawan, 2009).

B. Teknik Pembesaran Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

Pada prinsipnya teknik pendederan di KJA tidak jauh berbeda dengan pendederan di bak terkendali. Perbedaan utama hanya pada padat penebaran benih yaitu 100 – 300 ekor /m3. Sebagai sarana pendederan umumnya digunakan waring ukuran 2,5 x 2,5 x 2,5 m. Untuk menjaga kualitas air dalam jaring dan kelancaran sirkulasi air, maka setiap minggu perlu dilakukan pembersihan waring atau penggantian waring pemeliharaan.

Pengangkutan benih menuju lokasi dilakukan dengan menggunakan metode tertutup, dengan kantong plastik volume 10 liter. Benih dipelihara didalam waring dengan kepadatan 200 ekor/jaring. Selama pemeliharaan, benih diberi pakan ikan rucah segar. Pemberian pakan dilakukan 3– 4 kali sehari dan diberikan sampai kenyang. Pakan ikan rucah yang diberikan hanya diambil dagingnya, bagian yang lain seperti kepala, ekor, sisik dan duri/tulang dibuang. Daging dicincang dengan tingkat kehalusan yang sesuai kebutuhan atau ukuran benih. Untuk menekan adanya kanibalisme, maka setiap minggu atau disesuaikan dengan kebutuhan dilakukan pemilahan/grading.

Pengelolaan sarana budidaya seperti penggantian jaring dilakukan 2 minggu sekali dan dua kali dalam seminggu dilakukan pembersihan jaring pemeliharaan. Caranya dengan menggunakan sikat bertangkai panjang, jaring dapat disikat dari atas kerangka rakit. Namun pekerjaan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar ikan peliharaan tidak stress.

Gambar 2. Kerapu macan (Epinephelus fuscogutatus) (Hendrawan, 2009).

C. Teknik Pembesaran Tiram mutiara (Pinctada maxima)

Spat atau benih tiram mutiara diperoleh dari hasil pembenihan buatan di laboratorium atau hatchery. Spat yang berasal dari laboratorium kondisinya masih sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, oleh sebab itu perlu dilakukan perlakuan-perlakuan tertentu guna menekan tingkat kematian. Beberapa tahapan pemeliharaan-pembesaran antara lain pendederan meliputi kegiatan aklimatisasi, transportasi, penjarangan, perawatan dan pembesaran.

1. Pendederan

Pendederan merupakan kegiatan lanjutan dari pemeliharaan spat di laboratorium. Pendederan dilakukan di laut selama + 3 bulan atau sampai spat mencapai ukuran dorso-ventral 2 –3 cm. Setelah spat berumur 50 – 60 hari atau telah mencapai ukuran 3—5 mm DVM dapat dipindahkan ke tepat pendederan di laut. Spat yang masih menempel pada kolektor dimasukkan ke dalam kantong waring dengan lebar mata # 1—2 mm. Tujuan pengkoveran dengan kantong waring adalah untuk mencegah agar spat tidak dimangsa predator, misalnya dari jenis ikan Ostraciidae, Monacanthidae, Blenidae, kepiting, gastropoda (Murex sp, Thais sp) dan mengurangi penempelan kotoran. Ukuran mata jaring yang terlalu kecil kurang baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup spat, karena bisa menghambat sirkulasi air, suplai pakan dan lebih sulit dalam penanganannya. Sebaliknya jika mata jaring terlalu lebar juga tidak baik, sebab predator dengan mudah bisa masuk.

Selama masa pendederan, sebenarnya spat berada pada periode kehidupan yang cukup kritis, karena harus beraklimatisasi atau menyesuaikan diri dengan kondisi alam yang sebenarnya. Sedangkan pada saat dipelihara di dalam laboratorium, semuanya serba terkendali bahkan lingkungan lab direkayasa agar mendekati atau serupa dengan kondisi sebenarnya di alam. Pakan selalu tersedia, kualitas air cukup terjaga dan kondisi lingkungan stabil, misalnya tidak terjadi fluktuasi suhu air yang mencolok. Setelah berada di alam, spat tidak saja harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang fluktuatif, tetapi juga harus berkompetisi dalam masalah ruang dan pakan, serta berhadapan dengan kompetitor serta predator. Untuk meminimalkan terjadinya shok fisiologis, utamanya perubahan lingkungan, maka perlu diperhatikan cara pengangkutannya dari lab ke lokasi pemeliharaan, diperlukan aklimatisasi dan penjarangan.

1.1. Cara Pengangkutan

Teknik pengangkutan spat harus benar-benar diperhatikan, terjadinya mortalitas yang tinggi pada awal pemeliharaan sebagian besar disebabkan oleh teknik pengangkutan yang kurang baik. Satu minggu menjelang dipindah ke laut, pemeliharaan spat di laboratorium harus dilakukan dengan sistim air mengalir, minimal selama + 12 jam (pagi sampai sore) dengan tujuan agar spat mulai diadaptasikan. Dengan adanya gerakan air di dalam bak, dapat merangsang spat-spat untuk mensekresikan benang-benang bisus lebih banyak, sehingga spat semakin kuat menempel pada substrat/kolektor.

Pengangkutan spat dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode kering (dry method) dan pengangkutan basah.

a. Pengangkutan Kering

Biasanya dilakukan untuk membawa spat dengan jarak tempuh yang cukup jauh, atau pengangkutan lewat udara (pesawat). Kolektor-kolektor dikeluarkan dari dalam bak, ditiriskan beberapa saat, kemudian dimasukkan ke dalam kantong waring (# 1 mm) atau langsung disusun di dalam wadah. Tempat pengangkutan dapat berupa kotak dari bahan stereofoam, fiberglass atau plastik.

Pada setiap lapis kolektor, diselingi dengan busa atau kain yang dibasahi dengan air laut, jika lama perjalanan lebih dari 2 (dua) jam maka perlu di bari es. Pecahan-pecahan es tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diletakkan pada bagian paling atas. Satu hal yang harus diperhatikan adalah selama penyusunan kolektor tidak boleh dipadatkan atau bahkan ditekan dengan tangan, hal ini dapat memecahkan cangkang spat yang masih sangat tipis. Setelah pengepakan selesai, wadah ditutup rapat dan dirapatkan dengan lak ban agar suhu di dalam wadah tetap stabil. Metode pengangkutan kering juga bisa digunakan untuk pengangkutan spat ukuran 3 – 5 cm, calon induk dan induk.

b. Pengangkutan Basah

Cara pengangkutan basah umumnya digunakan untuk pengangkutan spat dengan jarak tempuh yang relatif dekat, baik dengan kapal maupun kendaraan darat. Pengangkutan dilakukan dengan bak fiberglass atau ember plastik, volume 200 – 300 liter. Dua atau tiga hari sebelum pengangkutan, semua kolektor dimasukkan ke dalam kantong jaring (# 1 mm).

Pada saat menjelang pengangkutan, kolektor-kolektor dikeluarkan dari dalam bak pemeliharaan dan segera di masukkan ke dalam bak pengangkutan yang telah diisi air laut bersih sampai setengah bagian bak. Setiap kolektor disusun dalam posisi horisontal, sampai kira-kira ¾ bagian dari bak. Untuk menjaga agar suhu dalam bak tetap stabil selama pengangkutan, bak bisa diberi penutup. Jika jarak tempuh kurang dari 2 jam, pengangkutan dapat dilakukan tanpa diberi tambahan aerasi.

1. 2. Perawatan Spat

a. Aklimatisasi dan Pemeliharaan Awal

Spat-spat yang baru dipindah dari laboratorium, tetap dibiarkan menempel pada kolektor dan diselubungi kantong jaring # 1 mm. Pemeliharaan dapat dilakukan dengan menggunakan tali rentang (long line) atau digantungkan pada rakit apung dengan kedalaman 3 – 4 m. Untuk menjaga agar keranjang pemeliharaan tidak banyak bergerak karena diterpa arus, maka di bagian bawah keranjang di beri pemberat.

Pemeliharaan rutin yang perlu dilakukan hanya mengganti kantong jaring setiap 2 – 3 minggu atau tergantung pada tingkat kekotoran dan tingkat kepadatan aporganisme penempel. Setelah satu bulan pemeliharaan atau ukuran spat mencapai 8 – 10 mm, digunakan kantong jaring dengan lebar mata jaring 2 mm.

b. Penjarangan

Penjarangan dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kepadatan spat per satuan ruang. Diperkirakan rata-rata kepadatan spat per kolektor sekitar 3.000 – 5.000 ekor, dijarangkan menjadi 500 – 1.000 ekor per kolektor. Seiring dengan meningkatnya ukuran spat, maka akan terjadi kompetisi terhadap ruang pemeliharaan dan pakan. Bahkan seringkali spat saling menempel antara satu dengan yang lain, sehingga perlu segera dijarangkan, kalau tidak niscaya salah satu diantaranya akan terhambat pertumbuhannya. Dengan penjarangan, diharapkan pertumbuhan spat menjadi normal dan tingkat kelangsungan hidup menjadi lebih tinggi.

Penjarangan dilakukan setelah spat mencapai ukuran 2 – 3 cm atau setelah masa pemeliharaan 2 – 3 bulan di laut. Teknik penjarangan dilakukan sebagai berikut:

· Kolektor diangkat dari dalam laut dan kantong jaring dilepas.

· Substrat yang berupa serabut tali atau paranet di keluarkan dari setiap kantong kolektor dan ditampung di dalam ember berisi air laut.

· Spat yang menempel begerombol satu persatu diisahkan, perlu diperhatikan agar saat pemisahan jangan sampai bisusnya tercabut.

· Penjarangan dapat dilakukan dengan tangan, tetapi lebih baik jika digunakan pisau untuk memotong bisus.

· Hasil penjarangan dapat ditampung di dalam ember berisi air laut.

· Spat dipelihara di dalam keranjang jaring (waring) ukuran 40 x 60 cm, dengan kepadatan 50 – 60 ekor.

· Keranjang pemeliharaan kembali ditutup dengan kantong jaring (# 3 mm) dan digantungkan kembali ke tempat pemeliharaan pada kedalaman 5 – 6 m.

Pemeliharaan pasca penjarangan tetap perlu diperhatikan. Setiap bulan dilakukan penggantian kantong jaring, apabila kepadatan organisme penempel atau tingkat penempelan kotoran rendah, maka setelah 1 – 2 bulan dari penjarangan tidak perlu diberi kantong jaring.

2. Pembesaran Spat

Periode pembesaran mulai dilakukan dari spat ukuran 2 – 3 cm sampai mencapai ukuran calon induk atau siap untuk diimplantasi (dipasangi inti) yaitu ukuran dorso-ventral antara 10 – 15 cm. Pemeliharaan dilakukan dengan menggunakan keranjang jaring, ukuran mata jaring + 1 cm, setiap keranjang pemeliharaan (40 X 60 cm) dapat diisi sekitar 25 – 30 ekor spat. Ukuran mata jaring yang digunakan disesuaikan dengan ukuran spat, semakin besar ukuran spat maka ukuran mata jaring harus bertambah lebar.

Selama masa pemeliharaan, dilakukan perawatan dengan cara membersihkan cangkang spat secara periodik setiap 1 – 2 bulan, atau tergantung pada tingkat kepadatan organisme penempel dan kotoran yang menempel, baik pada spat maupun wadah pemeliharaannya. Pembersihan cangkang dilakukan dengan menggunakan pisau kecil dan sikat, setelah cangkang bersih kemudian dimasukkan kembali ke dalam keranjang pemeliharaan yang bersih dan digantungkan pada rakit apung dengan kedalaman 5 – 6 m.

Gambar 3. Tiram Mutiara (Pinctada maxima ) (Hendrawan, 2009).

Gambar 4. Pocket untuk pembesaran tiram mutiara (Hendrawan, 2009).

Gambar 5. Pocket pembesaran tiram mutiara di gantung di pinggir keramba (Hendrawan, 2009).

D. Teknik Pembesaran Abalon (Haliotis Squamata)

Abalon merupakan salah satu dari jenis kekerangan. Abalon di Indonesia dikenal dengan nama kerang mata tujuh atau kerang lapar kenyang. Nama lokal abalon lainnya adalah ormer dalam bahasa Guernsey, perlemoen dalam bahasa Afrika Selatan, Abalon dalam bahasa Australia dan Amerika Serikat, aulone dalam bahasa Meksiko (Hutchin, 2007 dalam Octaviany 2007).

Penyebaran kerang abalon sangat terbatas, tidak semua pantai yang berkarang terdapat abalon. Secara umum, abalon tidak ditemukan di daerah estuaria yaitu pertemuan air laut dan tawar yang biasa terjadi di muara sungai. Ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adanya air tawar sehingga fluktuasi salinitas yang sering terjadi, tingkat kekeruhan air yang lebih tinggi dan kemungkinan juga karena konsentrasi oksigen yang rendah.

Abalon sebagai salah satu jenis kerang yang banyak dicari, sedangkan pertumbuhan abalon memerlukan waktu yang relatif lama sehingga jumlah abalon di perairan Indonesia semakin sedikit di samping karena syarat hidup abalon yang tinggi.

Ada tiga metode pembesaran abalon yaitu (1) pemeliharaan di dalam bak-bak budidaya dengan pemberian makanan secara intensif (land based farming), (2) pemeliharaan di dalam kurungan-kurungan yang diletakkan di dalam laut dan diberi makan secara berkala (containment rearing), dan (3) benih dilepas ke laut dan dipanen setelah mencapai ukuran layak jual (ocean rancing) (Setyono,2009).

DSC01027

Gambar 6. Abalon (Haliotis squamata) (Hendrawan, 2009).

Pembesaran abalon pada keramba dilakukan dengan menggunakan metode longline, yaitu dengan menggunakan keranjang dari supernet yang memiliki ukuran 23,3 cm x 25 cm. Didalam keranjang tersebut dimasukkan kembali keranjang berbentuk bulat. Setiap keranjang diisi 5 ekor abalon dengan berat rata-rata 50 - 80 gram dengan panjang cangkang 36 – 49 mm.

Keranjang di gantung di keramba dengan kedalaman masing-masing 5 m, 10 m, dan 15 m. pemberian pakan dilakukan setiap 5 hari sekali. Pakan yang diberikan adalah rumput laut jenis Gracillaria dan Ulva.

Pemberian pakan pada abalon yang budidaya di KJA berdasarkan berat abalon dan prosentase pakan yang telah ditentukan terlebih dahulu. Kelebihan dalam pemberian pakan akan menimbulkan bahaya bagi abalon, seperti bau busuk dari pakan yang berupa rumput laut yang kemungkinan besar mengandung bahan beracun (seperti NH3 dan H2S) yang dapat bersifat racun dan mematikan. Oleh karena itu, pengelolaan dan pengontrolan pakan harus dilakukan dengan tepat.

DSC01124

Gambar 7. Keranjang untuk pembesaran abalone (Hendrawan, 2009).

DSC01115

Gambar 8. Penempatan keranjang untuk pembesaran abalon (Hendrawan, 2009).

DSC01107

Gambar 9. Keranjang pembesaran abalon di gantung dipinggir keramba (Hendrawan, 2009).

Penggunaan keranjang gantung dalam metode pembesaran abalon merupakan salah satu pilihan yang baik, mengingat masa budidaya yang cukup lama. Pembesaran abalon dengan menggunakan keranjang juga harus memilih lokasi yang sesuai untuk kebutuhan abalon. Demikian juga dengan design kurungan dan keranjang yang digunakan dalam budidaya abalon, dimana sirkulasi air yang baik meruapaakan salah satu faktor yang berpengaruh untuk merangsang nafsu makan dan pertumbuhan abalon di dalamnya (gambar 9).

Dalam keranjang pembesaran abalon yang dilakukan di KJA, keranjang pembesaran ditempatkan sepotong bilah pipa paralon dengan ukuran 12 cm sebagai tempat melekat abalon atau sebagai tempat berlindung (shelter). Pembersihan keranjang budidaya pembesaran abalon yang ditempeli biofulling rutin dilakukan setiap 5 hari sekali. Biofoulling adalah organisme yang menempel pada jaring dan cangkang abalon yang diperlihara. Biofoulling ini diperoleh pada saat membersihkan keranjang dan cangkang abalon dengan menggunakan aliran air yang cukup keras.

DSC01546 DSC01558

Gambar 10. Pembersihan biofulling yang menempel pada keranjang budidaya (Hendrawan, 2009).

Umumnya limbah biofoulling semakin meningkat dengan bertambahnya ukuran, hal ini dikarenakan luas cangkang yang ditempeli oleh organisme penempel berbeda. Tingginya kandungan anorganik yang dihasilkan ini akan berpengaruh terhadap kualitas perairan disekitar lokasi budidaya tiram mutiara dan abalon dengan kandungan bahan anorganik yang tinggi apalagi kandungannya memiliki biomass yang melebihi arus perairan maka akan terjadi pengendapan unsur anorganik di perairan (Supii dan Arthana, 2009).

Menurut Moehidin (2009), sebagai dasar dalam penentuan keberhasilan budidaya abalon di KJA adalah kualitas perairan. Sebagai patokan, bila di satu kawasan sudah ada budidaya ikan kerapu, maka bisa dipastikan abalon bisa tumbuh dengan baik. Namun untuk memulai di kawasan baru, bisa dilakukan dengan cara mencoba memelihara beberapa ekor abalon. Lalu biarkan selama 2-4 minggu. Bila bertahan dan mau menerima pakan yang diberikan, maka kawasan tersebut cocok untuk budidaya abalon.

Tabel 1. Parameter kualitas air untuk budidaya kerang abalon

No

Parameter

Satuan

Nilai rata-rata

1.

Salinitas

Ppt

30-33

2.

Suhu

°C

29,5-30

3.

DO

mg/l

5,9-6,11

4.

pH

-

8,2-8,9

5.

Amonia

Ppm

-

6

Kecerahan

M

>10

Sumber: Loka Budidaya Laut-Lombok, NTB. 2005

Kriteria pemilihan lokasi untuk budidaya abalon dalam keramba jaring apung adalah sebagai berikut:

Ø Terlindung

Ø Tidak ada pengaruh air tawar

Ø Perairan terumbu karang yang subur

Ø Banyak makro organic

Ø Kedalaman minimal 1 m saat surut

Kerang abalon merupakan hewan yang bergerak sangat lambat sehingga jika terjadi pencemaran baik pencemaran industri, tambak maupun dari limbah masyarakat setempat akan sulit untuk menghindar, akibatnya akan mengalami kematian secara massal.

Pada pembesaran abalon yang dilakukan keramba predator yang paling umum ditemukan adalah jenis kepiting dan ikan-ikan kecil. Abalon merupakan hewan yang memiliki pertahanan tinggi. Cangkang abalon yang mengalami gangguan (bentuknya mengkerut) sekitar 50% akan mengalami perubahan yang akan lambat saat dibudidayakan, sedangkan selebihnya akan tumbuh normal.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL), maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Pembesaran biota laut seperti ikan kerapu, tiram mutiara dan abalon dapat dilakukan secara bersama-sama di keramba jaring apung.

2. Pembesaran abalon dapat dilakukan dengan meggunakan metode longline seperti pada tiram mutiara. Dimana metode ini dinilai efektif dalam usaha pembesaran.

3. Pembesaran ikan kerapu, tiram mutiara dan abalon denga metode KJA harus berdasarkan lokasi yang sesuai. Dengan memperhatikan baku mutu serta kriteria yang telah ditetapkan.

4. Pembesaran abalon dengan menggunakan keranjang, juga perlu memperhatikan desigen yang sesuai dengan kebutuhan abalon.

B. Saran

Perlu dilakukan pemanfaatan serta efektifitas luas keramba sehingga dapat meningkatkan pendapatan dengan budidaya secara polikulture dari beberapa komoditas. Sehinggga hal ini diharapkan dapat mengoptimalkan luas keramba dengan memperhatikan daya dukung yang sesuai.